logo

Written by Super User on . Hits: 199

Ego Orang Tua Mengancam Jiwa Anak: Mendesak Reformasi Eksekusi Hak Asuh dengan Dukungan Psikologis dan Sanksi Tegas

(Bersumber dari materi dari Forum Discussion Group

PERMA terkait implementasi eksekusi hak asuh anak lewat zoom meeting)

 

Bojonegoro I 22 Oktober 2025

Pengadilan Agama Bojonegoro mengikuti kegiatan Focus Group Discussion (FGD) Peraturan Mahkamah Agung RI terkait implementasi eksekusi hak asuh anak yang diselenggarakan oleh Komisi Perlindungan Anak Indonesia. Dimana banyak kasus sengketa hak asuh anak (hadhanah) pasca-perceraian di Indonesia seringkali terjerembab dalam pusaran ego orang tua, mengubah anak menjadi objek sengketa yang berujung pada trauma psikologis mendalam. Meskipun prinsip "Kepentingan Terbaik bagi Anak" (The Best Interests of The Child) menjadi payung hukum tertinggi, tantangan dalam implementasi dan eksekusi putusan di lapangan menuntut terobosan hukum yang lebih proaktif dari seluruh stakeholder peradilan dan kesadaran kolektif masyarakat.

Informasi untuk Masyarakat & Stakeholder Peradilan: Akar Masalah dan Dampak, menurut Hakim Agung Kamar Agama Mahkamah Agung,                                     YM. Drs. H. Busra, S.H., M.H., hadhanah harus dipandang sebagai Hak Anak dan kewajiban kedua orang tua. Kegagalan memahami prinsip ini menyebabkan anak menjadi korban utama. Dimana Anak sebagai "Benda Hidup": Permasalahan utama dalam eksekusi putusan hak asuh adalah objeknya yang dinamis (anak mudah berpindah tempat). Eksekusi hak asuh (persoonsrecht) yang sering disamakan dengan eksekusi hukum kebendaan (zakenrecht) menjadi tidak efektif. Kemudian adanya Ancaman Trauma Psikologis: Pihak yang kalah dalam sengketa (termohon eksekusi) kerap melakukan intimidasi atau menanamkan kebencian (parental alienation) kepada anak terhadap pemegang hak asuh. Hal ini menimbulkan trauma dan keresahan psikologis yang mengancam tumbuh kembang anak. Ada juga kewajiban Materil yang Terabaikan: Terlepas dari siapa pemegang hak asuh, UU Perkawinan dan KHI menegaskan ayah wajib bertanggung jawab atas biaya pemeliharaan dan pendidikan anak hingga anak dewasa (21 tahun). Kelalaian membayar nafkah/tunjangan anak pasca-perceraian adalah pelanggaran hak anak yang masif.

Cara Penanganan dan Terobosan Hukum (Untuk Stakeholder Peradilan), Peradilan di Indonesia telah mengambil langkah-langkah yudisial penting untuk memperkuat penegakan putusan hak asuh dan melindungi anak:

Terobosan Hukum

Tujuannya

Penculikan Anak Adalah Pidana

Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No. 140/PUU-XXI/2023 menegaskan bahwa orang tua kandung yang mengambil paksa anak dari pemegang hak asuh yang sah berdasarkan putusan pengadilan dapat dikenakan sanksi pidana Pasal 330 ayat (1) KUHP.

Sanksi Dwangsom

Pengadilan dapat menjatuhkan hukuman Uang Paksa (Dwangsom) kepada orang tua yang enggan menyerahkan atau mematuhi putusan hak asuh. Ini memberikan tekanan finansial dan psikologis agar putusan dipatuhi.

Jaminan Akses Bertemu Anak

Berdasarkan SEMA No. 1 Tahun 2017, putusan hak asuh wajib mencantumkan kewajiban bagi pemegang hak asuh untuk memberi akses yang wajar kepada orang tua yang tidak memegang hak asuh. Pelanggaran terhadap kewajiban ini bahkan dapat menjadi alasan pengajuan gugatan pencabutan hak asuh.

Upaya pencegahan dan Penguatan Institusi (Untuk Stakeholder & Masyarakat), dimana pencegahan trauma anak dan memastikan putusan hadhanah efektif memerlukan sinergi multidisiplin:

Area

Aksi Pencegahan & Penguatan

Di Lingkungan Pengadilan

1. Pemanfaatan Psikolog: Pekerjaan hakim perlu dibantu oleh tenaga dengan latar belakang psikolog untuk membantu memahami kondisi mental anak.

2. Pengacara Independen: Negara perlu menyediakan pengacara independen yang dibiayai negara bagi anak jika kedua orang tua tidak mampu.

Proses Pra-Putusan (Mediasi)

Mediasi Perceraian Wajib: Adopsi sistem Belanda, di mana kedua orang tua diwajibkan mengajukan alasan yang jelas di hadapan hakim jika tidak berhasil mencapai kesepakatan damai dalam mediasi. Ini mengurangi sengketa yang tidak perlu.

Enforcement Tunjangan Anak

Belajar dari Malaysia (Badan Sokongan Keluarga/BSK) dan Belanda (LBIO), perlu dibentuk lembaga proaktif yang memiliki otoritas untuk menalangi kebutuhan anak terlebih dahulu, dan selanjutnya melakukan pemotongan upah atau pendapatan langsung dari orang tua yang ingkar bayar tunjangan.

Kesadaran Masyarakat

Setiap orang tua harus menyadari bahwa konflik rumah tangga tidak boleh melampaui kepentingan anak untuk tumbuh aman dari bahaya, mendapat pengasuhan terbaik, dan memiliki hak untuk didengar pendapatnya (terutama anak berusia di atas 12 tahun).

 

Untuk menyelamatkan anak-anak dari 'neraka' sengketa hak asuh, sudah saatnya fokus peradilan bergeser dari sekadar memutuskan siapa yang berhak mengasuh, menjadi memastikan bagaimana anak dapat berkembang secara optimal melalui dukungan psikososial, penegakan sanksi hukum yang tegas terhadap pihak yang ingkar, dan peran aktif dari lembaga pendukung perlindungan anak.

Penulis : Sandhy Sugijanto (Panmud Hukum)

Hubungi Kami

Pengadilan Agama Bojonegoro Klas IA

Jalan MH. Thamrin No.88
Bojonegoro,
Jawa Timur

(0353) 881235
(0353) 892229
This email address is being protected from spambots. You need JavaScript enabled to view it.

Instagram   fb   youtube   twitter

Tautan Pengadilan

Pengadilan Agama Bojonegoro@2024